Jakarta. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menyuarakan kekhawatirannya pada hari Kamis atas tertundanya produksi gas di blok gas alam Masela di Maluku, yang telah menganggur selama lebih dari dua dekade meskipun telah ada investasi besar dan cadangan gas terbukti yang besar.
Berbicara pada seminar Outlook 2025 yang diselenggarakan oleh Beritasatu, media cetak sejenis Jakarta Globe, di Hotel Westin, Jakarta, Bahlil menyoroti ketergantungan Indonesia yang besar terhadap impor energi, yang merugikan pemerintah Rp 500 triliun ($30,75 miliar) setiap tahunnya, meskipun negara ini memiliki cadangan domestik yang melimpah.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menjadikan kemandirian energi sebagai prioritas utama, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas dalam negeri sekaligus mengurangi impor energi yang mahal, kata Bahlil.
“Blok Masela sudah 26 tahun terkatung-katung. Kalau produksi tidak dimulai tahun ini, kami akan lakukan evaluasi menyeluruh sesuai undang-undang,” ia memperingatkan. “Kita harus memastikan bahwa korporasi tidak mendikte kebijakan nasional — negara harus membimbing korporasi. Kuncinya adalah bertindak tegas tetapi tidak otoriter.”
Ini bukan pertama kalinya pemerintah menetapkan batas waktu produksi untuk Blok Masela. Sebelumnya, pendahulu Bahlil, Arifin Tasrif, telah mendesak operator proyek untuk memulai produksi paling lambat 30 Desember 2029, menyusul masuknya perusahaan energi milik negara, PT.Pertamina, sebagai mitra yang berpartisipasi di blok tersebut.
Terletak di lepas pantai dekat Pulau Nustual di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Blok Masela diperkirakan memiliki potensi gas sebesar 1.600 MMSCFD, setara dengan 9,5 juta ton gas alam cair (LNG) per tahun, bersama dengan tambahan 35.000 barel kondensat per hari, menurut data pemerintah.
Bulan lalu, Menteri Investasi Rosan Roeslani mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo telah menyampaikan keprihatinan khusus atas penundaan berkepanjangan Masela dan meminta langkah-langkah konkret untuk mempercepat produksi.
Blok gas Masela dioperasikan oleh raksasa energi Jepang Inpex Masela Ltd, yang memegang 65 persen hak partisipasi. Sisanya, 35 persen, dimiliki bersama oleh PT. Petronas dari Malaysia, setelah mereka mengakuisisi saham Shell Upstream Overseas Services Limited pada Juli 2023.
Awalnya diberikan pada November 1998 dengan konsesi 30 tahun yang akan berakhir pada tahun 2028, kontrak tersebut kemudian diperpanjang 20 tahun lagi, sehingga semakin memperpanjang jangka waktu proyek.