Jakarta. Menteri Energi Bahlil Lahadalia mengatakan pada hari Kamis bahwa Indonesia yang bergantung pada batu bara berada dalam dilema dalam perjalanan transisi energinya, terutama setelah rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk keluar dari pakta iklim global.
Selama masa jabatan pertamanya pada tahun 2019, Trump telah menarik AS keluar dari Perjanjian Paris, sebuah janji internasional yang bertujuan untuk membatasi pemanasan global jangka panjang hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Namun, penggantinya Joe Biden membuat Washington bergabung kembali dengan pakta tersebut pada hari pertamanya menjabat. Tidak lama setelah kembali ke Gedung Putih pada tahun 2025, Trump menandatangani perintah eksekutif tentang penarikan AS dari Perjanjian Paris. PBB baru-baru ini mengonfirmasi keluarnya AS.
Langkah besar Trump terkait perubahan iklim menarik perhatian Indonesia — sesama penanda tangan Perjanjian Paris yang masih menggunakan batubara untuk menghasilkan 67 persen produksi listrik nasionalnya.
“Perjanjian Paris adalah suatu keharusan. Perjanjian ini mendesak negara-negara untuk beralih ke energi terbarukan. … Namun, kita berada dalam dilema yang sangat besar. Bapak Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan saya untuk terus memajukan kedaulatan energi nasional. Bukan berarti kita harus mengganti semua sumber energi kita dengan energi terbarukan,” kata Bahlil dalam forum Beritasatu Economic Outlook 2025 di Jakarta.
“Kita punya Donald Trump yang ingin menarik diri dari Perjanjian Paris. AS termasuk negara yang mempelopori pakta iklim, tetapi sekarang mereka menarik diri dari kesepakatan itu,” kata Bahlil.
Menurut Bahlil, negara lain seperti India dan China memadukan penggunaan batubara dan energi terbarukan.
Data Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan batu bara mewakili 46 persen sumber energi domestik India dengan sebagian pasokan berasal dari panas bumi, matahari, dan angin pada tahun 2022. Penggunaan tenaga batu bara di Tiongkok lebih tinggi yakni 61 persen.
Penarikan diri AS, ditambah dengan sumber-sumber energi campuran negara-negara lain, mendorong Indonesia untuk mempertimbangkan dekarbonisasi pembangkit listrik tenaga batu bara alih-alih sepenuhnya bergantung pada energi terbarukan untuk sementara waktu.
“Kami sedang mempertimbangkan untuk memanfaatkan teknologi penangkapan karbon. Saat ini kami sedang menghitung harga pembangkit listrik tenaga batu bara yang dilengkapi dengan penangkapan karbon. Jadi kami akan dapat menggunakan ‘batu bara bersih’,” kata Bahlil.
Indonesia juga kemungkinan akan gagal mencapai target kapasitas energi terbarukannya tahun ini. Meskipun menargetkan 23 persen energi terbarukan dalam bauran energinya pada tahun 2025, pangsa energi terbarukan Indonesia baru mencapai sekitar 14 persen.
Penarikan diri Washington menimbulkan kekhawatiran seputar pembiayaan AS untuk paket iklim Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP). Pada akhir tahun 2022, Indonesia mengumumkan telah mendapatkan paket pendanaan iklim senilai hingga $20 miliar dari lembaga keuangan global dan aliansi negara-negara kaya. AS dan Jepang bersama-sama memimpin koalisi ekonomi maju yang mensponsori transisi energi Indonesia. Dana JETP terutama akan digunakan untuk membantu Indonesia menghentikan penggunaan batu bara.
Kemudian pada hari itu, ajudan Bahlil, Eniya Listiani Dewi menyinggung bahwa keluarnya AS dari Perjanjian Paris tidak akan berdampak besar pada pendanaan JETP.
“Ada sejumlah negara yang turut menyumbang paket iklim JETP, tetapi dana yang didedikasikan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara sebagian besar berasal dari Jepang, bukan AS,” kata Eniya kepada wartawan di sela-sela forum tersebut.